PELAKSANAAN PASAL 3 JO PASAL 8 PERATURAN KAPOLRI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENGGUNAAN KEKUATAN DALAM TINDAKAN KEPOLISIAN DI KOTA PONTIANAK

JONI HOTMAN - A11111047

Abstract


Kewenangan anggota kepolisian dalam melakukan penangkapan pelaku kejahatan terkadang tidak diiringi dengan pengetahuan yang memadai oleh anggota kepolisian khususnya anggota reserse yang bertugas dilapangan terhadap peraturan-peraturan yang mengatur tentang penggunaan kekuatan dalam melakukan tindakan kepolisian, penjabaran pengertian Diskresi Kepolisian oleh sebagian anggota kepolisian sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda terhadap sejauh mana tindakan yang diperbolehkan maupun tindakan yang tidak diperbolehkan. Diskresi  tanpa ada aturan yang mengatur tentang batas-batas tindakan yang diperbolehkan adalah kesewenang-wenangan. Guna membatasi tindakan yang dilakukan anggota Polri dalam melakukan tindakan kepolisian maka Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia mengeluarkan peraturan Kapolri yang mengatur penggunaan kekuatan dalam melakukan tindakan kepolisian seperti yang tertuang dalam PERKAP NO.1 TAHUN 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Penggunaan senjata api pada proses penangkapan pelaku kejahatan sangat rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia, hal ini dikarenakan kekuatan yang tidak seimbang antara penangkap yaitu anggota Reserse Polri yang senantiasa dilengkapi dengan senjata api dengan yang ditangkap yaitu pelaku kejahatan. Semangat dan kebanggaan anggota Polri dalam menangkap pelaku kejahatan dan mengungkap kasus-kasus kriminal yang terjadi di wilayah hukumnya menjadi pemicu anggota reserse Polri untuk menggunakan segala cara dalam menangkap tersangka yang dicurigai termasuk menggunakan kekuatan senjata api, sehingga tidak jarang mengesampingkan aturan-aturan yang ada. Kasus-kasus penyalahgunaan senjata api menjadi tidak terekspos dan cenderung ditutup-tutupi akan semakin tidak terpublikasi dengan adanya ketakutan pelaku kejahatan terhadap tindakan oknum penegak hukum yang menggunakan senjata api secara serampangan karena mereka telah melakukan perbuatan pidana yang merugikan pihak lain. Pengetahuan dan pemahaman tentang Peraturan Kapolri No 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian oleh anggota reserse Polri menjadi penyebab utama terjadinya penyalahgunaan senjata api pada saat penangkapan pelaku kejahatan disamping ketrampilan masing-masing personil Polri dalam menggunakan senjata api. Sangatlah disayangkan manakala aparat penegak hukum menegakkan hukum dengan melanggar hukum. Sangat ironi apabila seorang aparat penegak hukum namun tidak memahami hukum. Perlunya peningkatan pengetahuan dan pemahaman anggota reserse terhadap Peraturan Kapolri No 1 tahun 2009 serta ketrampilan/keahlian  penggunaan senjata api  dan pemahaman tentang hak asasi manusia menjadi kunci guna menekan angka pelanggaran pada saat anggota Reserse Polri melakukan tindakan kepolisian khususnya penangkapan terhadap para pelaku kejahatan di negeri ini.  Kepolisian Republik Indonesia dari waktu  ke waktu mengalami perubahan-perubahan secara mendasar walaupun tugas dan fungsinya dari dulu hingga sekarang tetaplah sama yaitu menjaga keamanan dan ketertiban  masyarakat serta menegakkan hukum. Perubahan tersebut terjadi seiring dengan berkembangnya Negara Indonesia. Pada masa dibentuknya hingga tahun 2002 lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia tergabung dalam wadah militer yaitu ABRI, budaya ABRI yang militeristik telah melekat dan terbawa dalam tugas-tugas kepolisian dalam menjaga keamanan, ketertiban, melindungi dan mengayomi masyarakat serta menegakkan hukum. Sehingga menimbulkan berbagai tindakan kekerasan terhadap sebagian besar penanganan kasus-kasus yang dilaporkan oleh masyarakat ke Kepolisian. Banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri ketika melakukan tindakan Kepolisian baik pada tahap penyelidikan maupun penyidikan suatu kasus maupun pada saat menangani suatu unjuk rasa Dengan di keluarkannya Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 yang menetapkan dipisahkannya Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan unsur TNI, dan Tap MPR No. VII/MPR/2000 yang menetapkan tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah salah satu wujud dari adanya pembaharuan maupun perubahan konkrit dari aturan hukum yang terjadi, sehingga tindak lanjut  dari dikeluarkannya Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 dan Tap MPR Nomor VII/MPR/2000, selanjutnya di dalam menentukan kedudukan Kepolisian pada susunan struktur Pemerintah, maka dikeluarkan KEPRES Nomor : 89 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang intinya menyatakan Kepolisian RI langsung dibawah Presiden. Kemudian dikeluarkan Undang-undang No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang secara umum ditentukan Tugas dan Kewenangan POLRI dan ditegaskan tentang legalitas POLRI yang dalam pelaksanaan tugasnya senantiasa dituntut dedikasi serta profesionalisme. Tugas utama Kepolisian adalah sebagai pelindung, pengayom, pelayan, dan melaksanakan penegak hukum dalam Negeri. Di dalam Undang-Undang tersebut diatur status anggota POLRI bukan lagi militer melainkan sebagai warga sipil sebagaimana masyarakat lainnya. Dengan keluarnya Polri dari ABRI tidak serta merta membuat jiwa militeristik lepas dari sosok seorang anggota Polri. Hal ini terlihat dari masih banyaknya tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota Polri pada saat sedang menangani sebuah perkara. Tindakan yang cenderung melanggar hak asasi manusia sering terjadi pada saat anggota Polri sedang melakukan tindakan Kepolisian yaitu penangkapan terhadap seorang pelaku atau tersangka kejahatan atau tindak pidana tertentu seperti pelaku pencurian. Pada saat ini Polri berusaha memperbaiki diri dan membentuk menjadi menjadi Polisi yang menjadi dambaan masyarakat Indonesia yaitu polisi yang humanis, yang senantiasa menjauhkan budaya kekerasan dalam setiap tindakannnya. Berbagai pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan HAM senantiasa dilakukan secara berkala kepada semua anggota Polri, dengan harapan menghapus pengaruh militer yang beberapa dasawarsa membentuk sifat “kekerasan” pada insan Polri. Sehingga tidak ada lagi istilah menegakkan hukum dengan melanggar hukum.  Barometer keberhasilan Polri adalah terletak pada fungsi reserse, karena pada fungsi reserse semua tugas Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan  masyarakat masyarakat serta penegakan hukum berada. Tugas pokok dan fungsi Anggota reserse berdasarkan Skep Nomor 54 tahun 2002 mengenai Organisasi dan Tata Kerja Satuan-Satuan Organisasi Kepolisian     Republik       Indonesia adalah menyelenggarakan/membina fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana dengan memberikan pelayanan atau perlindungan khusus kepada korban/pelaku, remaja, anak-anak dan wanita serta menyelenggarakan fungsi identifikasi, baik untuk kepentingan penyelidikan maupun pelayanan umum dan menyelenggarakan koordinasi dan pengawasan operasional dan administrasi penyidikan PPNS sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan. Tugas reserse dibagi dalam 2 (dua) bagian besar yaitu tugas preventif (pencegahan) dan refresif (penindakan). Tugas reserse yang bersifat refresif dilakukan dengan cara melakukan patroli daerah-daerah rawan kriminalitas atau dengan pembagian daerah pantauan ( kring serse ), sedangkan tugas yang bersifat refresif adalah penyelidikan maupun penyidikan suatu tindak pidana.

 

Keyword : Legalitas, Pertimbangan, Senjata Api, Penangkapan, Polri

 


Full Text:

PDF

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Powered By : Team Journal - Faculty of Law - Tanjungpura University 2013