PELAKSANAAN PENGAWASAN OLEH KEJAKSAAN NEGERI SAMBAS TERHADAP NARAPIDANA YANG MENDAPAT PEMBEBASAN BERSYARAT SESUAI DENGAN KETENTUAN PASAL 15 KUHP
Abstract
Untuk mempersiapkan narapidana mengintegrasikan kembali ke masyarakat, maka kepada narapidana perlu diberikan keterampilan kerja sebagai bekal hidupnya. Keterampilan ini ditujukan kepada narapidana agar menjadi tenaga yang terampil, yang menjadi elemen penting dalam pembangunan nasional, seperti keterampilan mekanik, menjahit, pendidikan dan lain-lain. Dengan pembinaan ini, narapidana diharapkan dapat bersosialisasi dengan baik ketika terjun kembali ke masyarakat. Dalam melaksanakan tugas pengawasan terhadap narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat tersebut, Kejaksaan sebagai institusi yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan belum dilakukan secara maksimal, begitu pula yang terjadi di Kejaksaan Negeri Sambas. Hal ini disebabkan berbagai faktor, antara lain: adanya kendala administrasi, kurangnya petunjuk baku berupa juklak atau juknis pelaksanaan pengawasan pembebasan bersyarat. Adapun skema tata cara pengawasan dari rutan sampai dengan kejaksaan yaitu sebagai berikut, setelah mendapat SK dari Kemenkumham melalui Rutan pihak Kejaksaan menebitkan P.52(Surat Pelepasan Bersyarat) kemudian Narapidana dicatat dalam administrasi dimana tercantum nama dan tanggal melapor ke Kejaksaan, pihak Kejaksaan memberikan cap dan ditandatangani oleh petugas sebagai pengawasan dan memberitahukan ke narapidana bahwa harus melapor sebulan sekali. Tercatat pada tahun 2012 terdapat 23 narapidana di Rutan Klas II yang mendapatkan pembebasan bersyarat, tahun 2013 27 narapidana di Rutan Klas II yang mendapatkan pembebasan bersyarat dan tahun 2014 terdapat 41 narapidana di Rutan Klas II yang mendapatkan pembebasan bersyarat. Bertitik tolak dari uraian latar belakang penelitian di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : “Mengapa Pelaksanaan Pengawasan Oleh Kejaksaan Negeri Sambas Terhadap Narapidana Yang Mendapat Pembebasan Bersyarat Sesuai Dengan Ketentuan Pasal 15 KUHP Belum Maksimal?” Adapun Pelaksanaan Pengawasan Oleh Kejaksaan Negeri Sambas Terhadap Narapidana Yang Mendapat Pembebasan Bersyarat Sesuai Dengan Ketentuan Pasal 15 KUHP Belum Maksimal Disebabkan Karena Faktor kurangnya koordinasi antar penegak hukum di Sambas, banyaknya jumlah narapidana yang mendapatkan Pembebasan bersyarat, jauhnya jarak antara tempat tinggal Narapidana dengan kantor Kejaksaan Negeri Sambas dan kurangnya jumlah Jaksa di Kejaksaan Negeri Sambas. Manusia di samping sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam bermasyarakat manusia memerlukan norma atau aturan untuk dapat menjaga keseimbangan dalam melakukan hubungan-hubungan kemasyarakatan agar tidak terjadi kekacauan. Salah satu norma yang berlaku di masyarakat adalah norma hukum yang memiliki sifat memaksa untuk ditaati dan dipatuhi, karena apabila norma hukum tersebut dilanggar akan dikenakan sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya. Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan, penjara, pidana mati, pencabutan hak dan juga perampasan harta benda milik pelaku tindak pidana.Menurut Pasal 10 KUHP, jenis pidana yang dapat dijatuhkan dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan (UU No. 20 Tahun 1946) dan denda, sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. Pidana penjara merupakan jalan terakhir (ultimatum remedium) dalam sistem hukum pidana yang berlaku, untuk itu dalam pelaksanaannya harus mengacu pada hak asasi manusia mengingat para narapidana memiliki hak-hak dasar yang harus dilindungi, salah satunya hak untuk hidup bebas atau untuk merdeka yang harus dijunjung tinggi keberadaannya. Untuk mempersiapkan narapidana mengintegrasikan kembali ke masyarakat, maka kepada narapidana perlu diberikan keterampilan kerja sebagai bekal hidupnya.Keterampilan ini ditujukan kepada narapidana agar menjadi tenaga yang terampil, yang menjadi elemen penting dalam pembangunan nasional, seperti keterampilan mekanik, menjahit, pendidikan dan lain-lain.Dengan pembinaan ini, narapidana diharapkan dapat bersosialisasi dengan baik ketika sudah kembali ke masyarakat. Pada tanggal 27 April 1967, sistem pemasyarakatan diresmikan sebagai suatu sistem pembinaan narapidana menggantikan sistem kepenjaraan. Dalam sistem pemasyarakatan berpandangan bahwa pemasyarakatan tidak lagi semata-mata sebagai tujuan dari penjara, melainkan juga merupakan suatu sistem serta cara pembinaan terhadap narapidana dengan cara pendekatan dan pengembangan terhadap narapidana dengan cara pendekatan dan pengembangan potensi yang ada dalam masyarakat, individu narapidana sehingga nantinya narapidana memiliki keterampilan. Aturan mengenai sistem pemasyarakatan yang berlaku saat ini adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asas dari sistem pemasyarakatan adalah Pancasila sebagai Falsafah Negara, sedangkan tujuannya disamping melindungi keamanan dan ketertiban masyarakat juga membina narapidana agar setelah selesai menjalani pidanannya dapat menjadi manusia yang baik dan berguna.
Selain mengatur berbagai aspek terkait dengan pemasyarakatan sebagaimana telah disebutkan diatas, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan juga mengatur mengenai hak-hak seorang narapidana.Pasal 14 ayat (1) huruf k Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 menyebutkan hak narapidana antaranya mendapatkan pembebasan bersyarat Pembebasan bersyarat menurut Pasal 1 huruf b Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas adalah proses pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan yang dilaksanakan berdasarkan Pasal 15 dan Pasal 16 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Pasal 14, Pasal 22, dan Pasal 29 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam pasal 15 KUHP disebutkan (1). Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang di jatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka kepadanya dapat di berikan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut,pidana itu di anggap sebagai satu pidana.
(2). Dalam memberikan pelepasan bersyarat, di tentukan pula suatu masa percobaan, serta di tetapkan syarat-syarat yang harus di penuhi selama masa percobaan.
Keyword : Pengawasan Pembebasan bersyarat,Kejaksaan Negeri Sambas dan Pasal 15 KUHP
Full Text:
PDFRefbacks
- There are currently no refbacks.
Powered By : Team Journal - Faculty of Law - Tanjungpura University 2013