PENJATUHAN PIDANA OLEH HAKIM TERHADAP KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009 jo SEMA No. 4 Tahun 2000) DI PENGADILAN NEGERI PONTIANAK

SHINTA WAHYUNI - A11111022

Abstract


Sebagian besar narapidana dan tahanan kasus narkotika adalah termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit, oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan, apalagi dilihat dari kondisi Lembaga Pemasyarakatan pada saat ini tidak mendukung, karena dampak negatif keterpengaruhan oleh perilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan, kesehatan yang diderita para narapidana narkotika akan semakin berat. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 yang mengatur ketentuan mengenai putusan memerintahkan untuk menjalani rehabiltasi bagi pengguna narkotika dalam Pasal 54 dan 103. Maka dari itu dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 07 Tahun 2009 yang diperbaharui dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 Tahun 2010, dan PP No. 25 Tahun 2011 yang merupakan petunjuk teknis dalam menerapkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yang mengatur mengenai syarat-syarat rehabilitasi terhadap pecandu narkotika maupun korban penyalahgunaan narkotika. Seorang pecandu narkotika yang telah diputus bersalah oleh hakim atas tindak pidana narkotika yang dilakukannya, untuk memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan agar terbebas dari kecanduannya, hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan. Namun hal tersebut belumlah sepenuhnya dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yaitu penyidik, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim mengingat untuk menjatuhkan pidana rehabilitasi medis maupun sosial harus didukung oleh persyaratan ataupun kriteria sebagaimana yang telah ditetapkan oleh SEMA 04 Tahun 2010, sehingga umumnya penyalahguna narkotika dijatuhi pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam pasal 127 ayat (1) Undang-undang nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika karena Pecandu ataupun penyalahguna narkotika tidak dapat membuktikan bahwa dirinya adalah korban penyalahguna narkotika sebagaimana kriteria dimaksud dalam SEMA 04 Tahun 2010, Sarana serta prasarana yang disediakan oleh pemerintah belumlah memadai untuk menampung penyalahguna atau korban penyalahguna narkotika maupun pencandu narkotika mengingat Indonesia adalah Negara yang sedang berkembang dan untuk melaksanakan rehabilitasi medis maupun sosial tersebut, Negara harus menanggung biaya yang sangat besar bagi setiap penyalahguna atau korban penyalahguna narkotika maupun  pecandu narkotika yang masuk dalam program rehabilitasi, selain itu JPU sangat jarang menuntut pidana rehabilitasi sehingga hakim tidak bisa memutuskan pidana rehabilitasi terhadap terdakwa Seiring dengan semakin meningkatnya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, pemerintah Indonesia telah mengupayakan untuk menindak tegas para sindikat dan pengedar dengan memberikan hukuman berat, bahkan sampai hukuman mati. Namun terhadap korban pengguna narkoba masih dipidana atau dijatuhi hukuman pidana oleh hakim dan menempatkan mereka di lembaga pemasyarakatan, bukan di tempat rehabilitasi. Sehingga lembaga pemasyarakatan menjadi pasar peredaran narkoba karena semua penghuninya membutuhkan narkoba secara ilegal Jumlah para penyalahguna narkotika di Indonesia terus bertambah setiap tahunnya. Beberapa data tersebut bisa dilihat melalui media cetak maupun elektronik. Untuk menanggulangi penyalahguna narkotika adalah dengan melalui rehabilitasi medis dan sosial. Karena cara menangan  penyalahguna narkotika berbeda dengan menangani tindak pidana yang lain  Untuk itulah Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika khususnya pasal 127, yang telah disahkan oleh pemerintah pada tanggal 14 September 2009 harus dapat diterapkan dengan benar di lapangan. Pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu narkotika justru menjadi sangat menarik untuk diteliti. Dan juga dampak pelaksanaan program rehabilitasi bagi para pecandu apakah mereka sudah mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan dengan layak. Sehingga setelah menjalani pengobatan dan rehabilitasi medis dan sosial bisa kembali ke masyarakat dengan normal dan mampu menjalankan aktivitas sehari-hari. Hasil penelitian membuktikan bahwa sebaiknya para penyalahguna justru diputus untuk direhabilitasi, karena melalui rehabilitasi serta pengobatan wajib bagi pecandu narkotika, diharapkan mereka dapat sembuh dari ketergantungan. Dengan demikian maka keputusan untuk merehabilitasi para penyalahguna narkotika dapat mengurangi perkembangan pengguna narkotika di Indonesia. Untuk itu diharapkan agar para penyalahguna narkotika ketika menjalani suatu proses hukum dapat diputus untuk mendapatkan haknya agar menjalani proses rehabilitasi dan pengobatan baik itu medis ataupun psikis. Disisi lainnya dampak proses rehabilitasi bagi pecandu narkotika justru memberikan makna yang positif, karena para pecandu narkotika akhirnya bisa kembali dan diterima di kalangan masyarakat untuk dapat menjalankan aktifitiasnya dengan normal. Beberapa diantara pecandu yang telah menjalani proses rehabilitasi telah memberikan kesaksian bagaimana mereka telah menjalani  proses rehabilitasi dan akhirnya berhasil serta dapat bergabung dengan manusia lainnya. Tentunya hal ini telah membuktikan bahwa apabila penerapan pasal 127 UU Nomor 35 Tahun 2009 dijalankan dengan baik maka dapat memberikan pengaruh yang baik bagi pecandu narkotika dan masyarakat. Dalam konteks pemidanaan terhadap korban pengguna narkoba, permasalahan muncul ketika ancaman pidana yang dirumuskan pemerintah bersama DPR dan telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, masih terdapat kontradiksi, kerancuan, ketidaksesuaian, dan juga keragamaan dalam memutuskan produk hukum tersebut, terutama dalam menentukan sanksinya. Di satu sisi pengguna narkoba dipidana penjara, di sisi lain direhabilitasi. Penggunaan hukum pidana berupa pidana penjara merupakan masalah kebijakan (policy). Sebagai suatu kebijakan, penggunaan hukum pidana bukanlah suatu keharusan. Sifat pidana sebagai ultimum remedium menghendaki, apabila tidak perlu sekali hendaknya jangan menggunakan pidana sebagai sarana. Aturan Pidana dan Ketentuan Rehabilitasi pada dasarnya penjatuhan sanksi pidana penjara terhadap korban pengguna narkoba tidak dapat mengubah perbuatannya sebagai pengguna karena pelaku adalah orang yang kecanduan, menderita kesakitan yang seharusnya mendapat pengobatan dan perawatan. Namun karena perbuatan tersebut telah ditetapkan sebagai perbuatan melanggar hukum, dan telah ditetapkan dalam Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, maka perbuatan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini sesuai asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yakni tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali). Pengaturan sanksi pidana terhadap pengguna narkoba bagi diri sendiri terdapat dalam Pasal 127 UU Narkotika. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum dengan maksud bahwa penggunaan tersebut dilakukan tanpa melalui pengawasan lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah. Penggunaan Narkoba tanpa melalui pengawasan lembaga rehabilitasi yang ditunjuk  oleh pemerintah tersebutlah yang merupakan suatu perbuatan “tanpa hak dan melawan hukum”. Artinya, selama peraturan perundang-undanganya masih mencantumkan ancaman pidana penjara bagi pengguna narkoba meskipun bagi dirinya sendiri, maka hukuman tersebut akan selalu ada. Atas dasar itulah, pengguna atau pecandu narkoba dapat dijatuhi pidana penjara. Meskipun demikian, Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juga mengatur tentang rehabilitasi bagi pengguna atau pecandu, yakni terdapat dalam Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58 dan Pasal 103. Sejalan dengan ketentuan tersebut, Mahkamah Agung kembali mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu narkotika.

Keyword : KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA


Full Text:

PDF

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Powered By : Team Journal - Faculty of Law - Tanjungpura University 2013