IMPLEMENTASI PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PADA PEREKRUTAN HAKIM AGUNG BERDASARKAN UUD RI TAHUN 1945

ALOYSIUS - A11111048

Abstract


Skripsi ini berjudul Implementasi Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Pada Perekrutan Hakim Agung Berdasarkan UUD RI Tahun 1945, dimana Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Hakim adalah pejabat negara yang merdeka dan independen dalam melaksanakan tugasnya sehingga lembaga perekrut Hakim Agung harusnya adalah lembaga yang merdeka dan independen jauh dari pada kepentingan politik.  Proses perekrutan hakim agung merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan hakim yang memiliki profesionalitas, integritas dan kualitas. Proses perekrutan hakim agung secara tegas dinyatakan dalam pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan: “calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden” Proses perekrutan hakim agung sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 24A ayat (3) UUD RI 1945 melibatkan tiga lembaga, Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat RI dan Presiden. Pada mekanisme pemilihan hakim agung di Dewan Perwakilan Rakyat, proses pemilihan dilaksanakan dengan cara keputusan berdasarkan suara terbanyak secara rahasia.  Dalam penulisan skripsi ini mempergunakan metode normatif analisis, pengumpulan data dengan teknik kepustakaan, dan teknik analisa data menggunakan teknik deskripsi. Pada prinsipnya di dalam suatu Negara terdapat tiga jenis kekuasaan, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan eksekutif adalah untuk menjalankan atau melaksanakan undang-undang. Kekuasaan legislatif adalah untuk membuat undang-undang. Sedangkan, kekuasaan yudikatif adalah untuk mengontrol apakah undang-undang dijalankan secara benar atau tidak  Jika kekuasaan legislatif dan eksekutif serta yudikatif dipegang oleh satu badan (organ) kekuasaan, maka tidak akan mungkin terlahir kemerdekaan, dan merupakan malapetaka bagi negara yang bersangkutan dan bagi kemerdekaan (liberty) individu. Prinsip pemisahan kekuasaan dan “check and balance‟ dimaksudkan sebagai prinsip-prinsip yang dapat mencegah konsentrasi kekuasaan dibawah satu tangan atau organ dan mencegah adanya campur tangan antara badan organ negara, sehingga masing-masing dapat menjalankan fungsinya sebagaimana diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan  dan bagi kemerdekaan (liberty) individu. Prinsip pemisahan kekuasaan dan “check and balance‟ dimaksudkan sebagai prinsip-prinsip yang dapat mencegah konsentrasi kekuasaan dibawah satu tangan atau organ dan mencegah adanya campur tangan antara badan organ negara, sehingga masing-masing dapat menjalankan fungsinya sebagaimana diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan Untuk mencegah jangan sampai kekuasaan legislatif yang di jalankan oleh parlemen memiliki kekuasaan yang melebihi badan (organ) lainnya, dapat dibuat kerja sama antarlembaga kekuasan negara, misalnya antara parlemen dengan pemerintah (presiden) dalam pembuatan suatu undang-undang Demikian juga untuk mencegah agar kekuasaan eksekutif memiliki kekuasaan badan (organ) lainnya misalnya dengan memberikan kewenangan kepada lembaga legislatif di samping sebagai pembuat undang-undang, juga sebagai lembaga “pengawasan” terhadap pemerintah, pemberi persetujuan, serta pemberi pertimbangan untuk beberapa keputusan yang di ambil oleh pemerintah, seperti pengangkatan pejabat negara tertentu Selain tiga poros kekuasaan tersebut diatas, ternyata di indonesia masih dikenal berbagai macam organ/lembaga negara dalam perkembangannya yang domain kekuasaannya cenderung masuk dalam domain kekuasaan yudikatif yang lazim penyebutannya diawali dengan kata komisi Gagasan tentang perlunya lembaga khusus yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu dalam ranah kekuasaan kehakiman sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Dalam pembahasan rancangan undang-undang (RUU) ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman tahun 1968 misalnya, sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Majelis ini diharapkan berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran dan/atau usul-usul yang berkenan dengan pengakatan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim yang diajukan, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Menteri Kehakiman. Namun, ide tersebut menemui kegagalan sehingga tidak berhasil menjadi materi muatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sewaktu terjadi proses reformasi di tahun 1998 gagasan perlunya lembaga khusus yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu dalam bagian penjelasan umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa untuk meningkatkan “check and balance” terhadap lembaga peradilan antara lain perlu diusahakan agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan transparan oleh masyarakat. Selain itu perlu dibentuk Dewan Kehormatan Hakim yang berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi dan mutasi hakim serta menyusun kode etik bagi para hakim. Ketika proses amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 selanjutnya disebut UUD 1945 dilakukan, gagasan mewujudkan lembaga khusus sebagai pengawas eksternal badan peradilan demi untuk menegakkan kewibawaan peradilan semakin mendapatkan perhatian yang sangat serius dari para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya disebut DPR RI. Melalui amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 disepakati tentang pembentukan Komisi Yudisial

 

Kata Kunci : Perekrutan Hakim Agung


Full Text:

PDF

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Powered By : Team Journal - Faculty of Law - Tanjungpura University 2013