PELAKSANAAN PENAHANAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA RINGAN DITINGKAT PENYIDIKAN DI WILAYAH HUKUM PONTIANAK DITINJAU DARI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2012

DWI FEBRI ANDIKA - A11111116

Abstract


Penelitian tentang “Pelaksanaan Penahanan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Ringan Di Tingkat Penyidikan Di Wilayah Hukum Pontianak Ditinjau Dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun bertujuan Untuk mendapatkan data dan informasi tentang  penahanan terhadap pelaku tindak pidana ringan di tingkat penyidikan di Wilayah Hukum Pontianak ditinjau dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012.Untuk mengetahui faktor penyebab tetap dilaksanakannya penahanan terhadap pelaku tindak pidana ringan di tingkat penyidikan di Wilayah Hukum Pontianak meskipun telah ada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012.Untuk mengungkapkan upaya yang dapat dilakukan oleh pelaku tindak pidana ringan yang di tahan pada tingkat penyidikan di Wilayah Hukum Pontianak ditinjau dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012. Penelitian ini merupakan penelitian hukum dalam ranah kajian yuridis sosiologis. Yuridis sosiologis merupakan ranah kajian dalam ilmu hukum yang tidak mendasarkan pendekatannya pada melihat fakta sebagaimana adanya, tetapi mulai melihat karakter tertentu dari perilaku sosial dengan menggunakan bantuan ilmu-ilmu lain. Dari penelusuran realitas sesungguhnya diharapkan akan diketahui apakah hukum positif maupun hukum yang lahir dari hubungan antar subyek dalam masyarakat merupakan hukum yang sudah adil atau tidak. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh hasil sebagai berikut : Bahwa selama kurun waktu 2012 sampai 2014 jumlah tindak pidana ringan yang dilakukan oleh tersangka tetap ada dan untuk hal tersebut penyidik tetap melakukan penahanan terhadap pelaku meskipun telah dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP. Bahwa faktor penyebab tetap dilaksanakannya penahanan terhadap pelaku tindak pidana ringan di tingkat penyidikan di Wilayah Hukum Pontianak meskipun telah ada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 dikarenakan bahwa penahanan dilakukan dikarenakan penyidik merasa perlu untuk menahan mereka dikarenakan proses penyidikan yang dilakukan kemudian karena alasan keamanan si pelaku dari amukan massa, mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana, takut kehilangan barang bukti. Bahwa  upaya yang dapat dilakukan oleh pelaku tindak pidana ringan yang di tahan pada tingkat penyidikan di Wilayah Hukum Pontianak ditinjau dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 adalah dengan mengajukan penangguhan penahanan kepada penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 27 Februari 2012 telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring). Adanya PERMA tersebut merupakan suatu respon adanya suatu kecaman terhadap putusan Hakim dalam memutus kasus tindak pidana ringan seperti kasus pencurian sandal, pencurian kakao, dan masih banyak kasus tindak pidana ringan lainya yang tidak di muat di media. Di dalam PERMA tersebut adanya batasan bahwa pelaku yang dikategorikan tindak pidana ringan adalah kasus pencurian/ penipuan dengan nilai uang di bawah Rp 2,5 juta merupakan kejahatan tipiring, dan pelaku tindak pidana ringan tidak boleh ditahan dan harus diadili secara cepat. Didalam KUHP, terutama Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482 KUHP secara jelas menyebut  sebuah perkara bisa dikategorikan tipiring jika menyangkut nilai uang di bawah Rp 250. Nilai yang sekecil itu berlaku ketika KUHP diberlakukan di Indonesia yaitu Pada Zaman Kolonial Belanda, jika dibandingkan dengan sekarang tentu nilai Rp 250 jelas sangat kecil kalau dijadikan suatu ukuran dalam suatu kerugian. Dengan nilai sekecil itu pada saat ini tentu hampir tidak ada kasus tipiring, justru kasus tindak pidana yang di anggap ringan pada saat ini masuk dalam tindak pidana biasa sehingga kasus-kasus yang biaya kerugiannya tidak seberapa malah di tangani dengan biaya perkara yang lebih besar dari pada biaya kerugiannya serta menyita waktu bagi hakim sendiri.  Seperti telah diketahui maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak-pidana enteng (lichte misdrijven) ialah yang disebut dalam Pasal 364 (pencurian ringan) Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 379 (penipuan ringan), Pasal 384 (penipuan ringan oleh penjual), Pasal 407 ayat (1) (perusakan ringan) dan Pasal 482 (pemudahan ringan), karena harga barang yang diperoleh karena atau yang menjual obyek dari kejahatan-kejahatan seperti diatur dalam pasal-pasal tersebut tidak lebih dari Rp 25,-. Pelanggaran kejahatan-kejahatan enteng tersebut dahulu diadili oleh Hakim Kepolisian (Landgerecht onde stijl) yang dapat memberi hukuman penjara sampai 3 bulan atau hukuman denda sampai Rp 500,-.  Setelah Pengadilan Kepolisian dihapuskan (Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, Lembaran Negara tahun 1951 No. 9, yang mulai berlaku pada tanggal 14 Januari 1951), maka semua tindak-pidana ringan dan juga pelanggaran-pelanggaran (overtredingen) diadili oleh Pengadilan Negeri, yang dalam pemeriksaan mempergunakan prosedur yang sederhana (tidak dihadiri oleh Jaksa). Oleh karena keadaan ekonomi telah berubah, harga barang-barang meningkat, maka dirasa perlu untuk menaikkan harga barang yang dinilai dengan uang Rp 25,- dalam pasal-pasal 364, 373, 379, 384 dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut di atas. Pasal 432 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga suatu tindak-pidana ringan akan tetapi tidak dimuat dalam peraturan ini karena dalam pasal tersebut tidak dimuat harga Rp 25,-. Pasal tersebut hanya menunjuk kepada pasal-pasal 364, 373 dan 379 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.  Harus diakui bahwa harga Rp 25,- itu tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang di mana harga barang-barang telah membubung tinggi, banyak kali lipat, jauh melebihi harga-harga barang pada kira-kira tahun 1915, ialah tahun ketika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana direncanakan, sehingga nilai uang Rp 25,- itu sekarang merupakan jumlah yang kecil sekali. Maka sewajarnya jumlah uang Rp25,- itu dinaikkan sedemikian hingga sesuai dengan keadaan sekarang. Jumlah yang selayaknya untuk harga barang dalam pasal-pasal itu menurut pendapat Pemerintah ialah Rp 250,- Berhubung dengan keadaan memaksa hal ini dilaksanakan dengan mengaturnya dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Bukan berarti Pengadilan tidak menindak suatu tindak pidana secara benar akan tetapi lebih adil jika kasusnya disesuaikan dengan bobot dari kasus itu sendiri. Meskipun tindak pidana ringan tetap harus ada hukuman yang sifatnya hanya memberikan efek jera bukan memberikan suatu cap penjahat. “Pelaku pencurian ringan bukannya tidak diproses secara hukum, alias tidak disidangkan, melainkan berbeda cara penanganannya. Menurut Hatta Ketua Mahkamah Agung, pelaku nanti cukup disidangkan dengan hakim tunggal dan penyelesaiannya cepat, tidak perlu ada proses banding dan kasasi

 

Kata Kunci : Penahanan, Tindak Pidana Ringan, Peraturan Mahkamah Agung


Full Text:

PDF

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Powered By : Team Journal - Faculty of Law - Tanjungpura University 2013