ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN SAKSI MAHKOTA DALAM PROSES PERSIDANGAN PERKARA PIDANA DITINJAU DARI ASAS HAK TERDAKWA UNTUK TIDAK MEMBERIKAN KETERANGAN YANG DAPAT MEMBERATKAN DIRINYA SENDIRI (NON SELF INCRIMINATION) (Studi Kasus Putusan No.600/Pid.B/2019/PN.Ptk)
Abstract
Abstract
In the criminal justice process in Indonesia, the existence of a crown witness when viewed only from the perspective of the provisions of the Criminal Procedure Code and its explanation does not find strict and limitative rules. However, in criminal justice practice, law enforcement officials still conduct examinations of crown witnesses, especially if the public prosecutor has difficulty presenting witnesses, while the judge wishes to expedite the judicial process so as not to falter, an examination of crown witnesses is carried out. The regulation on the use of crown witnesses in criminal justice processes in Indonesia refers to the Supreme Court Jurisprudence Number 1986K/Pid/1989 dated 21 March 1990 and the Supreme Court Jurisprudence Number 2437K/Pid.Sus/2011. In addition, the provisions of Article 142 of the Criminal Procedure Code whereby one defendant and another have their case files separated (splitsing) or in other words not made into one case file. This was done because the crime was committed by more than one person, thus fulfilling the inclusion as an offense regulated in Article 55 of the Criminal Code (KUHP) and the lack of evidence in committing a crime. The consequence of separating the case files resulted in each defendant being tried separately, in which one defendant testified in the trial of the other defendant and vice versa. The use of crown witnesses in the criminal justice process based on Decision No: 600/Pid.B/2019/PN.Ptk was due to a lack of witnesses in the aquo case, so the Public Prosecutor submitted a request to the Panel of Judges to allow the use of crown witnesses. The use of crown witnesses with a mechanism for splitting case files (splitsing) in the process of proof at court hearings is contrary to the principle of non-self-incrimination which is implicitly stipulated in several articles, namely Article 66 of the Criminal Procedure Code that there is no burden of proof for the accused (the burden of proof is the responsibility of the public prosecutor). , Article 175 of the Criminal Procedure Code which implies a right of denial for the defendant, Article 189 paragraph (3) of the Criminal Procedure Code that the defendant's statement can only be used for himself, and the absence of the defendant's confession as valid evidence as stipulated in Article 184 of the Criminal Procedure Code, and Article 168 of the Criminal Procedure Code regarding relative exceptions to be a witness.
Keywords: Crown Witness, Criminal Justice, Defendant's Rights, Principle of Non-Self Incrimination
Abstrak
Dalam proses peradilan pidana di Indonesia, eksistensi saksi mahkota apabila hanya dilihat dari perspektif sudut pandang ketentuan KUHAP dan penjelasannya tidak ditemukan aturan secara tegas dan limitatif. Namun demikian, dalam praktek peradilan pidana aparat penegak hukum masih melakukan pemeriksaan terhadap saksi mahkota, terutama bila jaksa penuntut umum kesulitan menghadirkan saksi, sedangkan hakim berkeinginan untuk memperlancar proses peradilan supaya tidak tersendat-sendat, maka dilakukanlah pemeriksaan saksi mahkota. Pengaturan penggunaan saksi mahkota dalam proses peradilan pidana di Indonesia mengacu pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1986K/Pid/1989 Tanggal 21 Maret 1990 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 2437K/Pid.Sus/2011. Selain itu, ketentuan Pasal 142 KUHAP dimana antara terdakwa yang satu dengan yang lain dipisahkan berkas perkaranya (splitsing) atau dengan kata lain tidak dijadikan dalam satu berkas perkara. Hal ini dilakukan karena tindak pidana dilakukan oleh lebih dari satu orang, sehingga memenuhi sebagai delik penyertaan yang diatur dalam Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan minimnya alat bukti dalam melakukan tindak pidana. Konsekuensi atas pemisahan berkas perkara, mengakibatkan masing-masing terdakwa disidangkan secara tersendiri, yang mana terdakwa yang satu memberikan kesaksian dalam persidangan terdakwa lainnya begitu pula sebaliknya. Penggunaan saksi mahkota dalam proses peradilan pidana berdasarkan Putusan No: 600/Pid.B/2019/PN.Ptk dikarenakan kurangnya saksi dalam perkara aquo, sehingga Jaksa Penuntut Umum mengajuakan permohonan kepada Majelis Hakim untuk memperbolehkan penggunaan saksi mahkota. Penggunaan saksi mahkota dengan mekanisme pemisahan berkas perkara (splitsing) dalam proses pembuktian di sidang pengadilan bertentangan dengan asas non self incrimination yang secara tersirat diatur dalam beberapa pasal yaitu Pasal 66 KUHAP bahwa tidak ada beban kewajiban pembuktian bagi terdakwa (beban pembuktian menjadi kewajiban penuntut umum), Pasal 175 KUHAP yang meyiratkan adanya hak ingkar bagi terdakwa, Pasal 189 ayat (3) KUHAP bahwa keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri, dan tidak adanya pengakuan terdakwa sebagai alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, serta Pasal 168 KUHAP mengenai pengecualian yang bersifat relatif untuk menjadi saksi.
Kata Kunci : Saksi Mahkota, Peradilan Pidana, Hak Terdakwa, Asas Non Self Incrimination.
References
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta.
Andi Hamzah, 2013, Hukum Acara Pidana Indonesia, PT. Sinar Grafika, Jakarta.
Andi Sofyan, 2014, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar (Edisi Pertama), Karisma Putra Utama, Jakarta.
Aristo Pangaribuan, Arsa Mufti, dan Ichsan Zikry, 2017, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
Darwan Prinst, 1989, Hukum Acara Pidana (Suatu Pengantar), Djambatan, Jakarta.
Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta.
Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung.
Indriyanto Seno Adji, 2009, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta.
Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi II, Sinar Grafika, Jakarta.
Munir Fuady dan Sylvia Laura L. Fuady, 2015, Hak Asasi Tersangka Pidana, Prenada Media Group, Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
R. Soesilo, 1980, Teknik Berita Acara (Proses Verbal), Ilmu Bukti, dan Laporan, Politeia, Bogor.
Romli Atmasasmita, 2011, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Wirjono Prodjodikoro dan Djoko Prakoso, 1998, Pemecahan Perkara Pidana (Splitsing), Liberty, Yogyakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke-11, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Thalib Effendi, 2014, Dasar-dasar Hukum Acara Pidana, Perkembangan dan Pembaharuannya di Indonesia, Setara Press, Malang.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik).
Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1986K/Pid/1989 Tanggal 21 Maret 1990.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2437K/Pid.Sus/2011.
JURNAL / SKRIPSI / TESIS / INTERNET :
Fajar Ilham Muharikin, Tinjauan Tentang Saksi Mahkota Dalam Pembuktian Perkara Pidana, Program Studi Ilmu Hukum, UNDIP, Semarang, 2013.
Ismail, Peranan Saksi Mahkota Dalam Proses Pembuktian Perkara Pidana Di Indonesia, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Tesis, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2018.
Loebby Loqman, Saksi Mahkota, Varia Peradilan, November 1995, Nomor 62.
Ilman Hadi, Definisi Saksi Mahkota, 2012, E-Law (online), http://www.hukumonline.com/, diakses pada tanggal 5 Januari 2022, pukul 21.30 wib.
Refbacks
- There are currently no refbacks.
E - Journal Fatwa Law
Published by : Faculty Of Law, Tanjungpura University