UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PARA PELAKU KASUS INSIDEN SANTA CRUZ 1991 DI TIMOR TIMUR OLEH PEMERINTAH INDONESIA
Abstract
Penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu belum diselesaikan dengan tuntas. Kemunduran justru dirasakan dalam agenda penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Bertolak belakang dengan semangat awal reformasi, yang menghendaki adanya penyelesaian tuntas atas praktek kejahatan negara di masa lalu. Dua mekanisme penyelesaian, penegakan hukum melalui pembentukan Pengadilan HAM adhoc, dan mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Bahkan, saat ini muncul berbagai upaya penyangkalan terhadap berbagai pelanggaran HAM yang terjadi. Pada akhirnya sering kita mendengar pejabat publik yang menyarankan untuk melupakan peristiwa buruk di masa lalu, salah satunya adalah peristiwa Santa Cruz, yang diawali dengan demonstrasi bersamaan dengan prosesi pemakaman Gomez ini para demonstran menggelar spanduk berisi tuntutan untuk menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan. Demostran juga menampilkan spanduk bergambar wajah pemimpin kemerdekaan Leste, Xanana Gusmao. Demonstrasi tersebut berujung pada tragedi berdarah saat para demonstran memasuki kompleks pemakaman Santa Cruz dan tentara mulai menembaki mereka dan tercatat 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 orang hilang. Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Dari hasil penelitian diperoleh fakta-fakta : 1. Bahwa fakta-fakta yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa Pembantaian Santa Cruz di Dili Timor Timur adalah sebagai berikut : Adanya kebijakan Presiden Soeharto yang mendatangkan suku Makassar dan Bugis yang menimbulkan perasaan tidak senang karena dianggap sebagai kelompok penghisap baru dan menghambat kehidupan ekonomi mereka. Para pendatang menguasai perdagangan sampai tingkat kecamatan. Adanya kehadiran “pasukan liar” yang ditenggarai sebagai pasukan baret merah yang ditempatkan sebelum terjadinya insiden Santa Cruz. Pasukan tersebut diluar kendali Pangdam Udayana IX. Adanya unsur pemberontakan terhadap pemerintah yang didukung oleh pihak asing antara lain Australia dan Portugal. Para demonstran didapati membawa senjata api laras panjang, pistol, granat tangan, senjata tajam dan pentungan, selain bendera Fretilin maupun Falintil. Bahwa upaya penegakan hukum terhadap pelaku kasus insiden Santa Cruz masih belum menemukan kepastian hukum. Hasil penyelidikan Tim Komisi Penyelidik Nasional dan Tim Dewan Kehormatan Militer yang diketuai oleh MayjenFaisal Tanjung tidak menindak lanjuti pernyataan Pangdam Udayana IX yang mengatakan bahwa pelaku penembakan insiden Santa Cruz adalah pasukan liar dengan sandi “Tim Mawar”. Selaku Pangdam dan mantan pejabat pada Pasukan Khusus (Baret Merah), tentunya sangat memahami metode atau cara operasi pasukan khusus. Bahkan dari hasil penyidikan besar CAVR di Timor Leste pada tahun 2001-2003 menyimpulkan, dari 72 perwira ABRI yang terlibat hingga kini hanya sepuluh yang diadili dan kemudian dihukum antara 8 sampai 18 bulan. Di Indonesia, mereka yang dituduh mendalangi Peristiwa 12 November tersebut malah naik pangkat, menjadi pejabat tinggi dan calon presiden salah satu partai politik. Bahwa faktor-faktor penghambat dalam proses penegakan hukum terhadap kasus Pembantaian Santa Cruz di Dili Timor Timur, yaitu : Adanya penolakan untuk menyelidiki atau mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sikap melindungi secara terang-terangan biasanya dilakukan oleh para penguasa yang warga negaranya terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Perlindungan seperti itu tercermin dari kesengajaan untuk tak menerapkan ketentuan perundang-undangan yang sudah ada, atau memberikan interpretasi (penafsiran) yang berbeda dengan apa yang dimaksud oleh peraturan perundang-undangan mengenai kejahatan itu. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk perkara pelanggaran HAM di Timor Timur (Timtim) dan Tanjung Priok sudah sangat terlambat. Karena masyarakat internasional sudah menunggu amat lama kehendak Indonesia untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM, khususnya di Timtim dan kini sudah mulai kehilangan kepercayaan akan kesungguhan pemerintah. Sulitnya mencari mantan jaksa yang menguasai doktrin dan hukum HAM. Dengan syarat ini membikin tidak seorang pun dari kalangan aktivis HAM yang qualified sebagai penuntut umum adhoc. Ini kelemahan Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pencantuman masa jabatan hakim adhoc selama lima tahun. Ada yang menafsirkan hakim adhoc hanya terikat kontrak selama lima tahun. Ini membuat keinginan untuk menjadi hakim adhoc menjadi berkurang. Pangdam Udayana IX tidak menjelaskan mengenai pasukan liar, akibatnya insiden Santa Cruz menjadi tanggung jawabnya selaku penguasa teritorial. Hal ini membuktikan adanya intervensi dari pemerintah bahwa mengakomodir tuntutan pelanggaran HAM pada kasus Santa Cruz berarti pemerintah juga harus mengakomodir pelanggaran HAM di Timur Timor sejak tahun 1975 – 1999. Bahwa seharusnya proses hukum terhadap kasus Insiden Dili berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia dan Timor Leste pengadilan hak asasi manusia adhoc sudah cukup untuk mengadili kasus insiden Santa Cruz, tanpa adanya campur tangan atau intervensi dari pihak asing, mengingat pada saat peristiwa tersebut terjadi, Timor Timur merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Insiden Dili (dikenal juga sebagai Pembantaian Santa Cruz) terjadi pada 12 November 1991 di Dili, Timor Timur (kini Timor Leste). Insiden terjadi saat terjadi demonstrasi besar-besaran, kebanyakan mahasiswa, terhadap pemerintah Indonesia yang menembak mati Sebastiäo Gomez. Penembakan terhadap mahasiswa itu terjadi pada 28 Oktober 1991 oleh tentara Indonesia. Dalam demonstrasi bersamaan dengan prosesi pemakaman Gomez ini para demonstran menggelar spanduk berisi tuntutan untuk menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan. Demonstran juga menampilkan spanduk bergambar wajah pemimpin kemerdekaan Leste, Xanana Gusmao. Demonstrasi tersebut berujung pada tragedi berdarah saat para demonstran memasuki kompleks pemakaman Santa Cruz dan tentara mulai menembaki mereka. Tercatat 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 orang hilang. Pembantaian ini disaksikan dua jurnalis Amerika Serikat, Amy Goodman dan Allan Nairn, serta terekam video Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk Yorkshire Television Inggris. Video itu kemudian digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor dan ditayangkan ITV Inggris pada Januari 1992. Allan Nairn, menuturkan, "Seusai misa di gereja Motael, pemuda-pemuda Timor mengeluarkan spanduk dan poster dari balik baju mereka dan mulai bergerak ke arah pemakaman. Sekitar pukul delapan pagi, massa makin padat. Komandan Sektor C/Khusus Dili Kolonel Aruan memerintahkan pasukan Brigade Mobil menyekat massa dengan membentuk barikade di belakang demonstran. Pasukan Indonesia terus bergerak maju, mendekati massa yang terkepung. Komandan Kompi Gabungan Letda Sugiman Mursanib berteriak memerintahkan pasukannya melepas tembakan peringatan ke udara. Mendadak serentetan tembakan terdengar, massa di bagian belakang roboh. Menurut reportase Radio Nederland (RN) pada tanggal 16.11.2011, mengulas tentang 20 tahun pembantain Santa Cruz, Militer Indonesia yang berkuasa rupanya sudah mencium gelagat. ABRI saat itu tengah menyiapkan Timorisasi aparat keamanan di Tim-Tim yang kala itu masih merupakan propinsi ke-27. Sumber-sumber yang layak dipercaya menyatakan sejumlah perwira dari Jakarta, Syafrie Syamsuddin dan rekan akrabnya, Prabowo Subianto, memeriksa pasukan Batalyon 744 di Taibesi dan sekitar seminggu sebelum peristiwa Santa Cruz, mereka meninggalkan Dili. Demonstrasi 12 November pecah menjadi huru hara ketika sejumlah demonstran terlibat pertengkaran dengan Kapten Gerhan Lentara yang mengakibatkan perwira ini terluka. Tak lama kemudian di muka kuburan Santa Cruz, sejumlah pasukan tak dikenal, tanpainsignias dan tanda-tanda kemiliteran yang jelas, menghadang di seberang gerbang pemakaman. Sebagian melepas tembakan peringatan, sebagian langsung menembaki para demonstran. Massa pemuda terkurung di tengah pekuburan, lari, dan kacau balau. Menurut penyidikan diduga sekitar 313 tewas, banyak di antaranya hilang” . Menurut Sintong selaku Pangdam Udayana IX selaku penanggung jawab teritorial bahwa penembakan dilakukan oleh “Pasukan Liar” atau dikenal dengan sebutan SGI (singkatan dari Sat Gas Intelijen (Intelligence Task Force)). Secara kelembagaan SGI ini adalah bagian dari Korem 164/Wira Dharma, namun dalam praktek instansi ini melayani perintah-perintah khusus dari Jakarta' atau Kopassus. Anggota yang direkrut tidak hanya berasal dari kalangan militer, namun juga orang sipil yang sehari-harinya dikenal sebagai pejabat di pemerintah daerah, tokoh pemuda dan bahkan pedagang atau lainnya. Jumlahnya tidak diketahui, begitu pula sifat keanggotaan dan wewenangnya. Tapi yang jelas aparat SGI ini sering terlibat dalam tindak kekerasan yang kerap mengakibatkan kematian warga sipil.
Keyword : PENEGAKAN HUKUM
Refbacks
- There are currently no refbacks.
Powered By : Team Journal - Faculty of Law - Tanjungpura University 2013