ANALISIS YURIDIS PELAKSANAAN PASAL 27 E UNDANG-UNDANG NO 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT
Abstract
Indonesia adalah Negara supremasi hukum, yakni negara yang dalam segala aktifitas kenegaraannya selalu berdasar dan berlandaskan kepada aturan hukum yang berlaku baik berupa hukum yang dituangkan dalam bentuk undang-undang dan sebagainya dalam bentuknya yang tertulis maupun yang berupa kebiasaan atau konvensi yang tidak tertulis.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya sudah semestinya bahwa dalam konteks pembicaraan mengenai Negara maka akan dipimpin oleh pejabat Negara baik itu yang sifatnya pejabat pusat maupun pejabat yang sifatnya pejabat daerah. Eksistensi pejabat adalah sangat penting dalam konteks pembicaraan mengenai Negara terlebih dalam konteks Negara supremasi hukum yang sudah pastinya akan memilih pejabat negara dengan aturan main yang disediakan oleh aturan hukum yang berlaku, yang tidak hanya dalam kapasitiasnya memilih pejabat daerah akan tetapi juga menyaring dan membatasi perilaku baik dari pejabat daerah tersebut.
Negara yang maju sudah barang pasti akan dipimpin oleh pemimpin dalam konsteks birokrasi yaitu pejebat Negara yang maju dan visioner pula. Tidak mungkin kiranya jika ada suatu Negara yang mengklaim dirinya sebagai Negara yang maju akan tetapi memiliki sosok seorang pejabat Negaranya yang tidak maju dalam segala hal misalnya dalam konteks pemikiran dan kebijakan serta perbuatannya yang merefleksikan taat kepada undang-undang dan hukum yang berlaku.
Pejabat daerah pada dasarnya merupakan sosok yang seharusnya dapat menjadi panutan bagi masyarakat. Sikap perbuatan maupun tingkah laku seorang pejabat daerah sudah barang tentu akan menjadi sorotan bagi publik dimana pejabat daerah dalam kapasitas misalnya Gubernur akan memimpin seluas teritorial setingkat provinsi sedangkan jika ia adalah Bupati maupun Walikota maka akan memimpin teritorial seluas wilayah Kabupaten dan Kota. Tentunya ketika pejabat daerah menjadi sosok pemimpin di daerahnya maka pejebat derah tersebut akan menjadi sorotan, panutan dengan penuh pujian atau kadang penuh dengan makian dan hujatan jika dalam sikap dan perbuatannya tidak merefleksikan taat dan patuh terhadap aturan hukum yang berlaku.
Aturan atau payung hukum yang dibuat dan disediakan oleh Negara dalam konteks penelitian ini adalah Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahana Daerah, dimana pada pasal 27 ayat e dikatakan bahwasanya dalam melaksanakan tugas jabatannya kepala daerah harus mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan. Penulis pada dasarnya ingin menarik intisari serta hakikat dari bunyi pasal 27 ayat e tersebut untuk kemudian dikontekstualisasikan dan dikonkritisasikan ke dalam praktinya dimana pejabat daerah melakukan suatu perbuatan yang dimana perbuatan tersebut melanggar aturan hukum dan produk perundang-undangan yang berlaku.
Pernikahan pada dasarnya merupakan suatu hal yang sangat fitrah baik dipandang dari sisi agama maupun dipandang dari sisi Negara dan hak asasi manusia. Setiap warga Negara maupun pejabat dan berhak untuk menikah kapan dan dengan siap saja sesuai dengan yang menjadi kehendaknya masing-masing termasuk dalalam di dalamnya adalah poligami. Aturan agama memberikan ruang untuk umatnya untuk melakukan poligami sepanjang syarat dan rukun untuk melakukan poligami tersebut berkesesuaian dengan aturan hukum yang berlaku.
Kebebasan untuk melakukan poligami tersebut bukannya tanpa batasan sebagai warga negara yang baik, terlebih jika kapasitas dan status dari warga Negara tersebut adalah seorang pejabat daerah dimana aturan hukum perdata seperti undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memberikan kewajiban bagi warga Negara untuk senantiasa mendaftarkan setiap pernikahnnya agar dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat dan untuk mereka yang ingin melakukan poligami maka harus mendapat izin dari pengadilan agama setempat jika beragama islam atau pengadilan negeri jika beragama di luar agama islam.
Persoalannya akan menjadi dilema dan problematis jika pejabat daerah melakukan nikah siri dengan tujuan untuk poligami sementara perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan yang pada dasarnya tidak mencerminkan dan merefleksikan suatu perbuatan yang taat dan patuh kepada undang-undang yang berlaku. Dikaitkan dengan aturan yang berupa keharusan serta kewajiban yang diatur oleh undang-undang nomor 32 Tahun 2004 Pasal 27 e tentang Pemerintahan Daerah dimana pejabat daerah harus tunduk, patuh, taat dan menegakkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini tentu akan menjadi problematik dan kontradiksi dimana di satu sisi pejabat daerah telah melakukan suatu perbuatan yang tidak merefleksikan perbuatan yang tunduk dan taat pada aturan perundang-undangan sedangkan di sisi lain tentunya akan menimbulkan konsekwensi dari perbuatan tersebut baik secara perdata maupun dalam konteksnya sebagai pejabat daerah atau pejabat NegaraKepala Daerah adalah orang nomor wahid (baca : nomor satu) di daerah dimana ia memimpin. Sebagai orang nomor satu yang duduk menjabat berdasarkan hasil dari PEMILU secara demokratis langsung dari daerah rakyat maka sudah dapat dipastikan bahwa seorang Kepala Daerah adalah penjelmaan dari harapan dan pilihan rakyat yang kepada-Nya banyak tersimpan harapan untuk membangun daerahnya.
Sebagai Kepala Daerah yang notabene dia memimpin daerahnya tersebut maka sewajarnya dan sudah semestinya pula seorang Kepala Daerah dalam setiap tindak tanduknya, setiap perilaku dan perbutannya sehari-hari harus memberi contoh dan tauladan bagi masyarakat dimana ia memimpin. Apabila seorang Kepala Daerah melakukan suatu perbuatan yang bilamana perbuatan tersebut tidak selaras dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka tentunya akan berakibat secara formil maupun materiil. Secara formil misalnya Kepala Daerah tersebut akan mendapat sanksi berkaitan dengan kapasitasnya sebagai Kepala Daerah dan secara materiil tentunya akan mendapat cemoohan dan gunjingan dari masyarakat terlebih jika sanksi yang diberikan oleh masyarakat adalah sanksi sosial.
Sesungguhnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (baca : undang-undang perkawinan) dan Kompilasi Hukum Islam mengatur secara tegas bahwasanya seorang suami hanya dapat memiliki seorang istri. Akan tetapi peraturan tersebut ternyata bersifat fleksibel dengan meregulasi bahwa diperbolehkannya melakukan poligami dengan catatan harus mendapat izin dari Pengadilan setempat.
Jelaslah kiranya bahwa nikah siri karena tidak dicatatkan maupun poligami dengan tanpa izin Pengadilan adalah suatu perbuatan yang melawan dan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dan merupakan suatu peruabatan yang tidak tertib hukum. Lantas bagaimana jika perbuatan tersebut dilakukan oleh seorang pejabat daerah atau Kepala Daerah yang notabene sebagai pejabat publik sekaligus sebagai figure publik. Pada pasal 27 e Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (baca : UU PEMDA) disebutkan bahwasanya Kepala Daerah dalam menjalankan tugasnya harus menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.
Nikah siri dan poligami dengan tanpa izin Pengadilan setempat yang dilakukan oleh seorang Kepala Daerah adalah suatu perbuatan yang melanggar dan melawan ketentuan pasal 27 e UU PEMDA sekaligus melanggar sumpah jabatan sebagai kepala daerah. Karena perbuatan itu adalah suatu perbuatan yang tidak mencerminkan nilai keselarasan yang tidak merefleksikan dan merepresentasikan dirinya sebagai Kepala Daerah terlebih perbuatan itu adalah perbuatan melawan undang-undang karena dilakukan oleh Kepala Daerah maka tentunya akan berakibat hukum.
Akibat hukum dari nikah siri dan poligami dengan tanpa izin Pengadilan adalah bahwasanya Kepala Daerah tersebut dapat diberhentikan dari jabatannya sebagai Kepala Daerah. Mekanisme pemberhentiaan Kepala Daerah dari jabatannya adalah dengan melibatkan tiga lembaga Negara yaitu DPRD, Mahkamah Agung dan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan tertinggi di negeri ini. Mekanisme pemberhentian Kepala Daerah dari jabatannya dengan mengikuti prosedur dan mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat 4 UU PEMDA.
Keyword : Roda pemerintahan, Poligami dan akibat hukum
Full Text:
PDFRefbacks
- There are currently no refbacks.
Powered By : Team Journal - Faculty of Law - Tanjungpura University 2013